Audiovisual sebagai Media Komunikasi Massa (bagian 1)
Perkembangan medium komunikasi mengalami proses yang bersifat cyclic, meskipun tidak persis berulang. Pada masa pra sejarah, orang menggunakan modus oral/auditory dan visual, secara langsung dan bersamaan ketika berkomunikasi.
Pada periode berikutnya orang mulai mengenal dan menggunakan medium komunikasi ketika mereka menorehkan goresan analog dari berbagai bentuk benda yang mereka lihat. Misalnya goresan berbentuk binatang yang ditorehkan pada batu di dalam gua, atau pahatan figur manusia pada batu candi.
Perubahan drastis terjadi ketika orang mulai menggunakan simbol dan kode tekstual untuk merepresentasikan pesan komunikasi. Komunikasi menjadi dibatasi secara kultural dimana simbol dan kode tersebut dikenal dan digunakan. Masa keemasan dari medium ini terjadi ketika mesin cetak banyak dipergunakan, sehingga media grafis seperti surat kabar, buku, poster, dan sebagainya dengan mudah didistribusikan lintas wilayah. Sampai dengan periode ini modus komunikasi didominasi oleh perangkat visual yang kita miliki.
Sebelum ditemukannya telepon, alat perekam suara, dan kemudian radio, jangkauan audio sebagai modus komunikasi sangat dibatasi oleh kemampuan orang berteriak di satu pihak dan kemampuan orang mendengar di pihak yang lain. Penggunaan corong atau pengeras suara tradisional hanya membantu menambah puluhan meter jarak orang yang berkomunikasi.
Namun dengan ditemukannya telepon, alat perekam suara, dan radio, modus oral/auditory dapat ditransmisikan melintasi wilayah yang hampir tak terbatas jaraknya di dunia ini. Serupa dengan media grafis, penemuan alat perekam suara juga memungkinkan pesan audio digunakan lintas waktu.
Ketika gambar dan suara dapat direkam secara bersamaan (film, video), dan dapat ditransmisikan (televisi), maka kita seolah kembali ke masa dimana orang berkomunikasi dengan modus oral/auditory dan visual, secara langsung dan bersamaan. Hanya saja modus tersebut kini dapat dilakukan lintas ruang dan lintas waktu.
Perkembangan teknologi komunikasi yang sangat pesat telah mengembalikan komunikasi audiovisual sebagai modus komunikasi terpenting masa kini. Konsekuensi dari fenomena ini adalah ketersediaan media komunikasi audiovisual yang dapat melayani kebutuhan komunikasi mutakhir manusia.
A. Karakteristik Media Audiovisual
Perkembangan medium audiovisual dari sejak terciptanya hingga ditemukannya teknologi layar panel LCD sekarang ini, tak lepas dari kontribusi munculnya media perekam visual yaitu kamera foto. Dunia audiovisual pada awal ditemukannya mengadopsi cara kerja mesin fotografi merekam gambar.
Perbedaannya ialah jika fotografi hanya merekam 1 frame gambar diam dalam satu detik, media audiovisual merekam sekaligus runtutan gambar diam (25-30 frame per detik) sehingga jika runtutan gambar tersebut dilihat berurut dan diproyeksikan dengan cepat maka akan tampak sebagai gambar gerak atau gambar hidup. Mengapa demikian? Karena teknologi audiovisual pada prinsipnya memanfaatkan ilusi optik manusia yang dalam kenyataannya tak mampu merekam kesan visual dengan cepat apa yang terlihat sepintas.
Boleh jadi jika runtutan gambar tersebut dilihat tidak secara cepat, kita akan melihatnya sebagai gambar gerak patah-patah, itulah sebabnya pada film-film kuno abad pertama kali film diciptakan, geraknya tidak ritmis dan relatif cepat. Hal tersebut terjadi karena awalnya mesin cinematograph hanya mampu merekam 18 frame per detik.
Mesin perekam gambar semakin disempurnakan dengan teknologi listrik yang lebih konstan dalam merekam dan memproyeksikan gambar sehingga tidak lagi 18 frame per detik, namun sudah mampu merekam 25 frame per detik (PAL) dan 29 frame per detik (NTSC) sehingga ilusi gambar lebih halus, tampak nyata, dan digabung dengan ilustrasi musik untuk membangun suasana.
Terminologi audiovisual pada dasarnya merujuk pada kombinasi antara audio (bunyi atau rangkaian bunyi) dan visual (penglihatan terhadap gambar yang bergerak atau moving pictures). Secara teknis media audiovisual adalah saluran atau wahana yang mampu membawa secara simultan pesan dalam bentuk audio dan moving pictures.
Sebagai salah satu bentuk media komunikasi massa, media audiovisual yang paling populer adalah film dan televisi. Meskipun demikian, kita umumnya mengenal kedua jenis medium tersebut sebagai end-user atau konsumen dari film dan televisi. Sesuai dengan karakter keduanya sebagai media komunikasi massa maka pesan yang dibawa kedua jenis medium itu berasal dari satu pihak yang ditujukan kepada khalayak massa (one to many).
Film adalah medium yang banyak dipakai untuk membuat berbagai program audiovisual, dari mulai film bioskop sampai dengan iklan televisi. Menurut Jim Stinson (2002: 10), film merupakan produk medium audiovisual yang baik karena beberapa hal:
- Peralatan film relatif portable, sehingga lokasi produksi film lebih praktis untuk ditentukan.
- Kemampuan film untuk mereproduksi gambar atau images dalam format hitam-putih atau berwarna sangat tinggi.
- Gambar dan suara direkam pada jalur yang terpisah dalam film, sehingga memberikan peluang yang sangat luas untuk melakukan improvisasi dalam editing.
Lebih lanjut Stinson mengemukakan, bahwa televisi adalah medium yang digunakan untuk menyiarkan (broadcasting) berbagai program yang sedang berlangsung di studio (live atau siaran langsung), atau program- program lain yang telah diproduksi sebelumnya dalam bentuk film atau videotape. Pada awalnya, televisi bukan merupakan medium yang ideal karena:
- Peralatannya sangat berat, rumit, dan bertautan satu dengan yang lainnya dalam jaringan kabel dengan sistem kendalinya.
- Kualitas gambarnya sangat rendah dibanding film, dan kemampuannya untuk menginterpretasi (render) bayangan abu-abu dari hitam ke putih sangat terbatas.
- Tidak dapat direkam untuk diedit kemudian, kecuali dengan merekam sinyal siaran langsung ke film, dan cara seperti ini semakin menurunkan kualitas gambar.
Seiring dengan popularitas televisi yang meningkat pesat, banyak persoalan produksi program televisi yang dapat ditemukan solusinya. Ukuran kamera menjadi semakin kecil dan portable, bahkan kini jauh lebih ringkas daripada kemera film, fitur kamera (gambar dan suara) yang semakin lengkap dan terintegrasi sehingga mengatasi kerumitan jaringan kabel.
Kamera yang biasanya disebut camcorder ini juga telah memiliki ketajaman gambar yang sangat baik serta kualitas warna yang sangat tinggi. Teknologi juga telah menyempurnakan sistem perekaman dengan videotape sehingga sinyal televisi dapat direkam dan diedit secara elektronik.
Teknologi televisi kini terus bersaing dengan kemampuan film dalam merekam gambar. Kita dapat dengan mudah memproduksi program dengan kualitas profesional pada media film atau videotape dengan sama mudahnya. Meskipun demikian keduanya tetap memiliki perbedaan esensial berdasarkan sifat-sifat dasar yang dimilikinya.
Film dalam evolusi perkembangannya pada dasarnya tetap menggunakan medium yang sama yaitu pita seluloid. Sebaliknya teknologi produksi elektronik yang dimulai dengan televisi, telah berubah secara drastis sehingga membentuk format yang diberi nama video (Stinson, 2002: 11).
Mereka yang fanatik menggunakan film memandang video masih memiliki sejumlah kekurangan seperti kejernihan gambarnya yang dianggap masih lebih kasar karena resolusinya yang rendah. Film juga dianggap lebih kaya warna dibandingkan dengan video.
Sebaliknya medium film kurang disukai karena sangat mahal proses produksinya (mulai dari pengambilan gambar, pemprosesannya, hingga mencetak pada pita seluloid). Proses produksi yang sama dengan format video sederhana hanya membutuhkan anggaran yang ratusan kali lebih murah dibandingkan film.
Medium film juga sangat sensitif terhadap perbedaan tingkat pencahayaan, sehingga pengelolaannya menjadi lebih rumit. Hal yang sama juga terjadi pada proses perekaman suara, karena dilakukan pada jalur yang terpisah dengan gambar.
Beberapa fitur produksi film yang jauh lebih kompleks dibanding video adalah color balancing, penambahan efek-efek transisi, dan editing. Singkat kata, produksi video jauh lebih praktis dan sederhana serta murah, dibandingkan dengan film. ***
Selanjutnya Audiovisual sebagai Media Komunikasi Massa (bagian 2).
Komentar Terbaru