Saat Sebait Puisi Bisa Jadi Medan Pertarungan Jiwa
Karuta

Di aula sunyi Kyoto, terdengar lantunan puisi klasik Jepang: “Chihayafuru…” Seketika itu juga, tangan-tangan bergerak cepat seperti kilat menyambar kartu-kartu yang tersebar di tatami. Ini bukan pertunjukan seni biasa, melainkan final Kejuaraan Karuta Nasional Jepang – olahraga tradisional yang menjadikan puisi sebagai medan pertempuran fisik dan mental.
Karuta (かるた), permainan kartu tradisional Jepang yang telah berusia 500 tahun ini telah berevolusi menjadi kyōgi karuta (競技かるた) – sebuah olahraga kompetitif resmi di Jepang yang menggabungkan kecepatan refleks, daya ingat prima, dan penghayatan mendalam terhadap puisi-puisi klasik. UNESCO bahkan telah mencatatnya sebagai Warisan Budaya Takbenda pada 2018, mengakui keunikan permainan yang mampu menyatukan sastra, strategi, dan ketangkasan fisik.
Olahraga Tradisional Jepang yang Memadukan Puisi dan Ketangkasan
Asal muasal Karuta bermula pada abad ke-16 ketika pedagang Portugis memperkenalkan permainan kartu ke Jepang. Kata “karuta” sendiri berasal dari bahasa Portugis “carta” yang berarti kartu. Namun orang Jepang tidak sekadar menirunya – mereka mentransformasikannya menjadi bentuk yang khas dengan menggunakan:
- Hyakunin Isshu: Kumpulan 100 puisi karya 100 penyair berbeda dari era Heian (794-1185)
- Iroha Karuta: Kartu edukasi untuk anak-anak dengan pepatah bijak
- Uta-garuta: Kartu khusus untuk pertandingan resmi
“Yang unik dari karuta adalah bagaimana puisi yang ditulis ratusan tahun lalu menjadi hidup kembali melalui gerakan tubuh modern,” kata Prof. Kenji Sato, pakar sastra dari Universitas Waseda.
Pertandingan karuta profesional menggunakan 100 kartu torifuda (kartu pengambil) dan yomifuda (kartu pembacaan). Dua pemain duduk berhadapan dengan:
Tata Cara Main
Tata Cara Main:
- Wasit membacakan bait pertama sebuah puisi (kami-no-ku)
- Pemain harus menemukan kartu dengan bait penutup (shimo-no-ku) yang sesuai
- Kartu yang benar harus diambil sebelum lawan menyentuhnya
- Pemenang adalah yang berhasil mengumpulkan lebih banyak kartu
“Kuncinya ada di interval 0,3 detik antara pengucapan suku kata pertama dan saat tangan menyentuh kartu,” jelas Haruka Mizusawa, juara karuta perempuan 2023.
Filosi dalam Setiap Kartu
Setiap kartu dalam Hyakunin Isshu mengandung filosofi mendalam:
“Chihayaburu…” (Kartu paling prestisius) melambangkan kekuatan tak terduga
“Okuyama no…” mengajarkan kesabaran
“Murasame no…” menekankan kepekaan terhadap perubahan kecil
“Latihan karuta sesungguhnya adalah meditasi bergerak – tubuh yang gesit tapi pikiran yang tenang,” tulis master karuta Takeshi Kobayashi dalam bukunya.
Transforasi dari Permainan ke Olahraga Elite
Popularitas karuta meledak setelah serial manga Chihayafuru (2007) yang menampilkan sisi dramatis pertandingan karuta. Kini terdapat lebih dari:
- 1 juta pemain terdaftar di Jepang
- 120 dojo profesional
- 30 turnamen resmi setiap tahun
Antara Tradisi dan Inovasi: Karuta di Era Modern
Di tengah gempuran budaya pop dan teknologi digital, keberadaan karuta sebagai olahraga tradisional sempat diragukan akan bertahan. Namun, justru di era ini karuta menemukan napas baru. Banyak generasi muda yang tertarik memainkan karuta setelah terpapar melalui anime, manga, hingga siaran pertandingan resmi di kanal streaming. Kombinasi antara visual estetik dan dramatisasi pertandingan dalam Chihayafuru menjadi pintu masuk emosional bagi ribuan remaja Jepang—dan bahkan luar negeri—untuk mengenal kedalaman budaya mereka sendiri.
Kini, tak sedikit sekolah dan universitas yang memiliki klub karuta sebagai bagian dari kegiatan ekstrakurikuler. Bahkan, ajang-ajang persahabatan antarnegara mulai bermunculan. Di Prancis, Amerika Serikat, hingga Thailand, klub-klub karuta berdiri dengan semangat yang sama: memperkenalkan permainan tradisional ini ke panggung global.
“Karuta menjadi cara saya untuk mendekatkan diri dengan budaya Jepang, lebih dalam dari sekadar belajar bahasanya,” ujar Emily Tanaka, pemain karuta asal Kanada yang mengikuti kejuaraan dunia tingkat amatir pada 2024 lalu.
Peran teknologi juga tak bisa dipisahkan dari perkembangan karuta modern. Aplikasi pelatihan karuta digital kini bermunculan, memungkinkan pemain melatih kecepatan reaksi dan ingatan mereka di rumah. Bahkan, beberapa turnamen lokal sudah mulai bereksperimen dengan sistem pembacaan puisi otomatis menggunakan AI, yang mampu menjaga netralitas dan ritme pembacaan konsisten.
Namun demikian, beberapa purist tetap menekankan pentingnya menjaga esensi asli permainan. Menurut mereka, suara manusia yang membaca puisi adalah bagian tak terpisahkan dari jiwa karuta. Suara pembaca—yang disebut yomi-te—membawa emosi dan nyawa pada setiap bait, memengaruhi atmosfer pertandingan secara signifikan.
Makna Eksistensial di Balik Sebait Puisi
Yang membuat karuta bertahan bukan hanya bentuknya yang unik, tetapi filosofi hidup yang terkandung dalam tiap kartu. Hyakunin Isshu bukan sekadar kumpulan puisi lama, melainkan refleksi atas gejolak batin manusia: cinta tak terbalas, kerinduan, penyesalan, harapan, kesendirian. Semua tema itu abadi—dan tetap relevan hingga hari ini.
Bagi sebagian pemain, karuta menjadi bentuk terapi jiwa. Dalam gerakan yang cepat namun teratur, dalam konsentrasi tinggi selama pertandingan berlangsung, terselip latihan mental yang mirip dengan zen. Bahkan banyak dojo karuta yang memasukkan sesi meditasi sebelum latihan dimulai, agar pemain bisa mencapai ketenangan batin yang diperlukan untuk membaca ritme pertandingan.
“Ketika saya bermain, saya merasa seluruh dunia menjadi sunyi. Hanya ada saya, bait puisi, dan suara hati saya sendiri,” kata Riko Maebashi, pemain muda dari Osaka yang mengalami pemulihan mental setelah trauma sekolah berkat bergabung di klub karuta.
Lebih dari Sekadar Lomba, Sebuah Warisan Budaya
Karuta juga menjadi simbol ketekunan dan penghormatan pada masa lalu. Di tengah budaya instan dan tren yang cepat berlalu, permainan ini mengajak kita untuk berhenti sejenak dan menghargai proses: menghafal, memahami, dan menyelami makna. Setiap kartu tidak hanya dibaca, tapi dirasakan.
Kini, generasi muda Jepang perlahan mulai mengadopsi karuta sebagai simbol identitas budaya. Turnamen-turnamen nasional diikuti bukan hanya oleh mereka yang mengejar gelar juara, tapi juga oleh mereka yang ingin menjadi bagian dari tradisi—tradisi yang hidup, berubah, namun tetap berakar.
Di tengah gelombang globalisasi, karuta berdiri tegak sebagai bukti bahwa puisi bisa lebih dari sekadar keindahan kata. Ia bisa menjadi ujian, pengingat, dan bahkan penyelamat jiwa.
Dan mungkin itulah yang membuat karuta begitu memikat. Ia tidak menjanjikan kekayaan atau ketenaran. Namun ia menjanjikan pertemuan: antara pemain dan dirinya sendiri, antara generasi kini dengan leluhur mereka, antara kekacauan luar dengan keheningan dalam.
Penutup
Karuta bukan hanya tentang menjadi yang tercepat. Tapi tentang menjadi yang paling hadir. Paling menyatu. Dan paling mendengarkan.
Karuta bukan sekadar permainan kartu biasa. Ia adalah sebuah olahraga yang menggabungkan ketajaman pikiran, kecepatan refleks, dan kedalaman penghayatan sastra. Setiap kartu yang diambil bukan sekadar gerakan fisik, melainkan sebuah keputusan yang menguji jiwa.
Di akhir hari, karuta mengajarkan satu hal: puisi bukan sekadar kata-kata—ia bisa menjelma medan tempur. Di atas tatami, setiap pemain tidak hanya mencetak poin, tetapi juga menguji ketahanan mental, ketelitian, dan kedewasaan berpikir.
Seperti yang dikatakan seorang meijin (jagoan karuta):
“Ketika bait puisi dilantunkan, bukan lagi sekadar mencari kartu. Yang terjadi adalah perang jiwa tanpa suara.”
Maka, jika Anda mencari tantangan yang memadukan keindahan sastra dan ketegangan olahraga, karuta mungkin akan menjadi medan pertarungan jiwa Anda berikutnya.
Di mana Puisi Menjadi Pertarungan, dan Pertarungan Menjadi Puisi.


1 Respon
[…] kali dipandang sebelah mata, dianggap hanya sebagai kumpulan pakaian serba hitam dan riasan yang dramatis. Namun, di balik penampilan yang mencolok ini, terdapat sejarah yang kaya dan makna yang mendalam. […]