Koperasi Desa Merah Putih: Sebuah Mimpi Besar di Tengah Badai Tantangan

Di tengah gemuruh ambisi pembangunan nasional, sebuah mega-proyek sedang digarap dengan napas panjang. Pemerintah menargetkan 80 ribu Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes) terbentuk pada 12 Juli mendatang—naik dari target awal 70 ribu. Angka fantastis ini bukan hanya sekadar angka statistik, melainkan cerminan tekad besar Presiden dan jajarannya untuk menjadikan koperasi sebagai lokomotif penggerak ekonomi desa. Dengan dukungan modal Rp3-5 miliar per Kopdes, total anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp240-400 triliun. Proyek ini berpotensi menjadi salah satu tonggak sejarah terbesar dalam perkembangan koperasi di Indonesia.
Namun, di balik gemerlap angka-angka itu, terselip pertanyaan besar: mampukah Kopdes bertahan dalam badai tantangan? Di satu sisi, proyek ini adalah manifestasi komitmen luar biasa dari pemerintah untuk membangun kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, kegagalan bisa menjadi bumerang yang menghancurkan citra koperasi secara keseluruhan. Kopdes direncanakan mengelola berbagai sektor usaha seperti agribisnis, konsumsi, kesehatan, hingga logistik. Namun, peluang emas ini juga membawa risiko besar yang tak boleh diabaikan. Artikel ini akan mengeksplorasi prospek lima tahun ke depan bagi Kopdes, menyelami potensi, risiko, serta strategi mitigasinya.
Mimpi Besar di Luar Pakem Ideal
Dalam teori koperasi, lahirnya sebuah koperasi idealnya tumbuh secara bottom-up. Seperti yang digambarkan oleh Cook (2018) dalam cooperative life cycle, koperasi biasanya lahir dari kegelisahan kolektif sekelompok orang yang ingin menyelesaikan masalah mereka sendiri. Misalnya, ketika para petani merasa terjepit oleh rantai pasok yang tidak adil, mereka memilih mendirikan koperasi untuk meningkatkan efisiensi dan posisi tawar di pasar. Dengan demikian, koperasi menjadi wahana swabantu diri (self-help) yang inheren berbasis anggota (member is owner and user).
Namun, Kopdes hadir dengan pendekatan yang berbeda: top-down. Justifikasi ekonominya datang langsung dari pemerintah pusat, yang melihat tiga masalah utama di desa: kemiskinan ekstrem, stagnasi ekonomi lokal, serta jeratan tengkulak, rentenir, dan pinjaman online (pinjol). Ketiga isu ini memang nyata dan dirasakan oleh masyarakat desa. Oleh karena itu, Kopdes diyakini dapat menjadi solusi untuk menggerakkan roda ekonomi desa, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan petani serta pelaku usaha kecil.
Namun, pendekatan ini juga membawa kelemahan. Desain organisasi Kopdes cenderung seragam, ditetapkan melalui Surat Edaran No. 1 Tahun 2025 Kementerian Koperasi. Dalam SE tersebut, Kopdes dibentuk melalui musyawarah desa dengan peserta dari pemerintah desa, BPD, dan masyarakat setempat. Lebih jauh, Kepala Desa bertindak sebagai Ketua Pengawas (ex officio), membuat struktur organisasi cenderung homogen di seluruh Indonesia. Berbeda dengan koperasi tradisional yang tumbuh organik dengan corak variatif sesuai konteks lokal, Kopdes tampak seperti hasil cetakan pabrik.
5 Tantangan yang Menghadang
Jika fase pembentukan telah dilewati, maka fase operasional adalah ujian sesungguhnya. Menurut Cook (2018), fase ini meliputi tahap pertumbuhan (growth), kejayaan (glory), hingga tantangan heterogenitas aspirasi anggota. Dalam konteks Kopdes, ada lima tantangan utama yang harus dihadapi:
1. Skala Ekonomi
Operasi di level desa sering kali terbatas pada sumber daya dan pasar. Misalnya, Kopdes yang berfokus pada layanan agribisnis akan menghadapi tantangan pasokan bahan baku. Setiap desa cenderung memprioritaskan pasokan untuk kebutuhan internalnya sendiri, sehingga potensi konflik antar-Kopdes sangat besar. Di sisi pasar, jangkauan Kopdes juga terbatas. Jika Kopdes berhasil mendominasi pasar lokal, hal itu justru bisa merugikan toko milik masyarakat yang sudah ada. Untuk menghindari gesekan sosial, Kopdes cenderung akan beroperasi dalam kapasitas terbatas.
2. Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Pengelolaan dana Rp3-5 miliar membutuhkan kecakapan manajemen keuangan, bisnis, operasional, dan pemasaran yang tidak dimiliki semua desa. Pengalaman Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menunjukkan bahwa salah satu tantangan terbesar adalah menemukan pengelola lokal yang kompeten. Minimnya SDM ini juga berdampak pada buruknya tata kelola organisasi. Koperasi sebagai entitas bersama memiliki karakteristik unik yang berbeda dari perusahaan individu atau keluarga. Tanpa SDM yang memadai, tata kelola ini rentan terganggu.
3. Elite Capture
Di desa-desa dengan tata kelola lemah, tokoh-tokoh berpengaruh dapat menyalahgunakan wewenang untuk mengendalikan Kopdes demi kepentingan pribadi. Fenomena ini sering terjadi pada program bantuan lainnya, di mana segelintir orang mendominasi sumber daya yang seharusnya dinikmati bersama. Akibatnya, manfaat nyata bagi anggota menjadi berkurang, sementara sebagian besar anggota tidak mengetahui hak-hak mereka.
4. Risiko Kecurangan (Fraudulent)
Semakin besar dana yang digelontorkan, semakin tinggi risiko kecurangan. Laporan fiktif, markup proposal, proyek hantu, hingga korupsi dapat terjadi di semua level. Kasus penyalahgunaan Dana Desa oleh Kepala Desa adalah contoh nyata betapa rapuhnya sistem pengawasan di tingkat lokal. Di sisi lain, rendahnya sense of belongingness anggota membuat mereka abai terhadap pengawasan penggunaan anggaran.
5. Keberlanjutan
Modal awal Rp3-5 miliar mungkin cukup untuk memulai, tetapi tanpa model bisnis yang jelas, banyak Kopdes berisiko kehabisan modal dalam lima tahun. Ketergantungan pada suntikan dana pemerintah tanpa kemampuan menghasilkan profit akan membuat program ini rapuh. Keberlanjutan menjadi tantangan besar yang harus diselesaikan jika Kopdes ingin menjadi mesin penggerak ekonomi desa yang sebenarnya.
3 Skenario Masa Depan
Melihat kompleksitas tantangan tersebut, ada tiga skenario yang mungkin terjadi:
- Skenario Optimis: Kopdes berhasil mengatasi tantangan dan berkembang menjadi motor penggerak ekonomi desa yang kuat. Dengan model bisnis yang solid dan tata kelola yang baik, Kopdes mampu memberikan manfaat signifikan bagi anggotanya.
- Skenario Moderat: Kopdes berjalan dengan kapasitas terbatas, namun masih mampu memberikan manfaat minimal bagi masyarakat. Namun, dampaknya tidak sebesar harapan awal.
- Skenario Pesimis: Kopdes gagal total akibat buruknya tata kelola, minimnya SDM, dan kurangnya inovasi. Dana yang digelontorkan habis tanpa memberikan dampak berarti bagi masyarakat.
6 Strategi Mitigasi
Untuk menghadapi tantangan ini, enam strategi mitigasi dapat dijalankan:
- Peta Jalan yang Jelas: Setiap Kopdes harus memiliki roadmap yang realistis dan spesifik sesuai konteks lokal.
- Fokus Usaha: Kopdes harus memilih bidang usaha yang sesuai dengan potensi desa, bukan sekadar ikut tren.
- Konsolidasi dengan Koperasi Sekunder: Kolaborasi dengan koperasi tingkat atas dapat meningkatkan kapasitas dan akses pasar.
- Intervensi Berbasis Asesmen: Pemerintah harus melakukan asesmen mendalam untuk mengidentifikasi kebutuhan dan kendala masing-masing Kopdes.
- Kolaborasi Antar-Kopdes: Kerja sama antar-Kopdes dapat mengurangi gesekan dan meningkatkan sinergi.
- Pengawasan Ketat: Sistem pengawasan yang transparan dan partisipatif harus diterapkan untuk mencegah penyalahgunaan dana.
Epilog 1 : Antara Harapan dan Realitas
Kopdes adalah mimpi besar yang dipenuhi harapan. Namun, untuk mewujudkannya, pemerintah dan masyarakat harus bekerja keras melewati badai tantangan. Jika berhasil, Kopdes bisa menjadi mercusuar harapan bagi desa-desa di Indonesia. Namun, jika gagal, proyek ini berisiko menjadi monumen ambisi yang runtuh dihantam realitas. Semoga, langkah-langkah mitigasi yang tepat dapat menjaga agar mimpi besar ini tidak berakhir sebagai ilusi.
Unit Simpan Pinjam (USP): Sebuah Pisau Bermata Dua
Bayangkan sebuah desa yang berusaha lepas dari jerat pinjaman online (pinjol) dengan membuka Unit Simpan Pinjam (USP) melalui Kopdes. Di atas kertas, ide ini terlihat mulia—menggantikan rentenir digital dengan solusi kolektif. Namun, dalam praktiknya, risiko kredit macet mengintai seperti bayangan gelap. Profil pengguna pinjol sering kali tumpang tindih dengan pelaku judi online—keduanya memiliki latar belakang sosial-ekonomi serupa: miskin, impulsif, dan terjebak dalam siklus finansial instan. Jika USP tidak dikelola dengan hati-hati, bukan mustahil ia akan menjadi mesin penghancur bagi ekonomi pedesaan.
Lima tantangan besar yang telah disebutkan sebelumnya—skala ekonomi, kapasitas SDM, elite capture, potensi fraudulent, dan keberlanjutan—bukan sekadar ancaman teoretis. Jika gagal diatasi, mereka dapat memicu tsunami ketidakpercayaan terhadap koperasi secara keseluruhan. Ironisnya, anggaran Rp240-400 triliun yang digelontorkan untuk proyek ini berasal dari pajak rakyat. Dalam konteks ini, kegagalan Kopdes bukan hanya soal hilangnya anggaran, tetapi juga runtuhnya harapan masyarakat terhadap sistem koperasi.
3 Skenario Masa Depan: Optimisme, Moderasi, atau Kegagalan Total?
Dari analisis mendalam, saya mencoba memetakan tiga skenario yang mungkin terjadi lima tahun ke depan:
1. Skenario Optimis: Kopdes sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi Desa
Dalam skenario ini, sekitar 30-40% Kopdes (24.000–32.000 unit) berhasil menjadi entitas ekonomi mandiri dan produktif. Keberhasilan ini didorong oleh pendampingan intensif, pelatihan manajemen bisnis, serta pengawasan ketat untuk mencegah penyalahgunaan dana. Pada 2030, Kopdes tidak hanya menghasilkan profit, tetapi juga menciptakan efek domino positif: lapangan kerja bertambah, pendapatan per kapita meningkat, migrasi ke kota menurun, dan desa-desa berkembang menjadi pusat ekonomi baru.
Namun, skenario ini bukan tanpa syarat. Ia membutuhkan komitmen penuh dari pemerintah, kolaborasi lintas pemangku kepentingan, serta partisipasi aktif masyarakat. Tanpa itu, mimpi ini bisa runtuh seperti istana pasir di tepi pantai.
2. Skenario Moderat: Bertahan dalam Bayang-Bayang Stagnasi
Di sini, sekitar 50% Kopdes (40.000 unit) tetap beroperasi, tetapi pertumbuhannya sangat terbatas. Banyak di antaranya hanya menjalankan usaha sederhana seperti simpan pinjam atau toko koperasi. Mereka cukup bertahan hidup, namun tak mampu melakukan ekspansi besar-besaran. Separuh lainnya gagal total karena kehabisan modal atau buruknya manajemen.
Dalam skenario moderat ini, Kopdes gagal menjadi agen transformasi ekonomi desa. Mereka hanya menjadi penopang minimalis, tanpa mampu mengubah wajah desa secara signifikan. Hasilnya, pembangunan ekonomi pedesaan tetap stagnan, bahkan cenderung melempem.
3. Skenario Pesimis: Kegagalan Massal yang Menghancurkan
Skenario terburuk ini adalah mimpi buruk bagi semua pihak. Lebih dari 70% Kopdes (56.000 unit atau lebih) gagal total pada 2030. Tidak hanya meninggalkan jejak kerugian finansial yang besar, tetapi juga kekecewaan sosial yang mendalam. Penyebab utamanya adalah kombinasi fatal dari tantangan-tantangan yang tidak terkelola dengan baik: skala ekonomi yang terlalu kecil, SDM yang minim, elite capture yang merajalela, hingga praktik korupsi yang merusak.
Dalam skenario ini, desa-desa kembali ke titik awal, bahkan lebih buruk. Utang yang ditinggalkan oleh Kopdes membuat masyarakat semakin terpuruk. Rasa antipati terhadap koperasi pun tumbuh subur, sehingga gerakan koperasi sulit bangkit kembali selama beberapa dekade mendatang.
6 Strategi Mitigasi: Menuju Kesuksesan atau Kehancuran
Agar proyek bernilai ratusan triliun ini tidak berakhir sia-sia, pemerintah perlu menyusun strategi mitigasi yang matang. Berikut enam langkah yang dapat diadopsi:
1. Peta Jalan yang Terukur
Pemerintah harus menyusun roadmap yang jelas untuk pembangunan dan pengembangan Kopdes. Mulai dari fase inkubasi, pertumbuhan, hingga kemandirian. Saat ini, banyak program hanya berfokus pada timeline, tanpa gambaran besar tentang exit strategy. Belajar dari kegagalan KUD di masa lalu, pola ofisialisasi, deofisialisasi, dan otonomi perlu dirumuskan kembali agar dapat diturunkan menjadi rencana aksi yang terukur.
Misalnya, pada fase inkubasi, fokus utama adalah peningkatan kapasitas SDM, operasional, dan pemasaran. Memberikan beban terlalu besar di tahap awal ibarat memberi makan nasi kepada bayi—tidak hanya tidak berguna, tetapi juga berbahaya.
2. Fokus pada Usaha Prioritas
Pada tahun-tahun awal, Kopdes sebaiknya hanya fokus pada satu atau dua jenis usaha, misalnya agribisnis. Usaha lainnya bersifat opsional dan dikembangkan sesuai kapasitas. Membebani Kopdes dengan berbagai jenis usaha di saat SDM belum siap hanya akan kontraproduktif. Fleksibilitas dalam menentukan usaha wajib dan opsional akan mendorong inisiatif lokal para pemimpin koperasi.
3. Konsolidasi Melalui Koperasi Sekunder
Untuk mengatasi tantangan skala ekonomi dan SDM, Kopdes perlu dikonsolidasi melalui pembentukan koperasi sekunder di tingkat kecamatan. Sekunder dapat berperan dalam perencanaan bisnis terpadu, sementara primer menjadi ujung tombak layanan di tingkat desa. Pendekatan ini memungkinkan Kopdes untuk mengonsolidasi rantai pasok, sarana-prasarana, dan jangkauan pasar.
4. Intervensi Berbasis Asesmen
Sistem asesmen perlu dikembangkan untuk mengukur capaian Kopdes. Alat seperti Development Ladder Assessment (DLA) dapat diadopsi dan dikontekstualisasikan. Setiap Kopdes memiliki rapor DLA yang menjadi dasar intervensi tahap berikutnya. Sistem insentif dan disinsentif juga dapat diterapkan untuk mendorong performa.
5. Kolaborasi dengan Stakeholder
Kolaborasi dengan gerakan koperasi, kampus, lembaga inkubator, dan pemangku kepentingan lainnya adalah kunci sukses. Alih-alih mengandalkan instrumen birokrasi semata, pendekatan kolaboratif akan menghasilkan ribuan “resep sukses” yang dapat diimplementasikan di berbagai wilayah. Setiap Kopdes dapat didampingi sesuai dengan potensi desa dan rencana strategisnya.
6. Pengawasan Ketat dan Transparan
Pengawasan internal dan eksternal harus diperkuat untuk mencegah penyalahgunaan dana. Selain menggunakan instrumen negara seperti BPK dan BPKP, transparansi tata kelola juga harus dibangun. Misalnya, setiap Kopdes diwajibkan menyampaikan laporan kinerja dan keuangan secara berkala melalui media publik seperti baligo. Hal ini akan meningkatkan akuntabilitas serta rasa kepemilikan masyarakat terhadap Kopdes.
Epilog 2: Harapan untuk Indonesia
Penelitian IMF oleh Norris dkk (2015) menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan kelompok 20% terbawah dapat meningkatkan pertumbuhan PDB sebesar 0,38% dalam lima tahun. Sebaliknya, peningkatan pada kelompok 20% teratas justru mengurangi pertumbuhan. Inilah alasan filosofis di balik lahirnya Kopdes—to lift the bottom, to grow the whole.
Jika Kopdes berhasil, bukan hanya masyarakat desa yang sejahtera, tetapi juga pertumbuhan ekonomi nasional yang melonjak. Namun, syaratnya adalah keberlangsungan dan keberhasilan sebagian besar Kopdes. Apakah kita mampu mewujudkan mimpi ini? Ataukah kita hanya akan menyaksikan reruntuhan harapan di tengah badai tantangan?
Hanya waktu yang akan menjawab. ***
Komentar Terbaru