Kota Tanpa Pohon: Apa Jadinya Jika Alam Benar-Benar Menghilang?

Berjalan di tengah kota besar—jalanan padat, kendaraan berlalu-lalang, gedung pencakar langit menjulang tinggi di segala arah. Namun ada satu hal yang tak tampak di sekeliling: pohon. Tak ada dedaunan yang rindang, tak terdengar kicau burung, tak terasa sejuknya hembusan angin dari taman kota. Yang ada hanyalah beton, aspal, debu, dan udara panas yang terperangkap di antara bangunan. Apakah ini gambaran kota modern di masa depan?
Seiring pesatnya pembangunan dan urbanisasi, ruang hijau di kota-kota besar semakin terdesak. Lahan yang dahulu berisi taman atau pepohonan kini berganti menjadi pusat perbelanjaan, kompleks apartemen, atau area komersial. Dalam upaya mengejar pertumbuhan ekonomi dan efisiensi ruang, banyak kota justru tanpa sadar mengorbankan keberadaan alam. Padahal, peran pohon dan ruang hijau dalam menjaga keseimbangan ekosistem kota sangatlah penting dan tidak tergantikan.
Pertanyaannya, apa yang akan terjadi jika suatu hari nanti alam benar-benar menghilang dari lingkungan perkotaan?
Lebih dari Sekadar Estetika: Fungsi Vital Pohon di Kota
Menghapus pohon dari lanskap kota bukan hanya menghilangkan keindahan visual. Dampaknya jauh lebih dalam dan luas, menyentuh aspek kesehatan, lingkungan, sosial, hingga ekonomi. Tanpa pohon, kota kehilangan sistem alami yang selama ini menopang kelangsungan hidup masyarakat urban.
Salah satu dampak paling langsung adalah peningkatan suhu. Pohon berperan sebagai penyejuk alami. Melalui proses transpirasi, mereka membantu mengatur kelembaban udara dan menurunkan suhu lingkungan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bangkok, fenomena urban heat island—di mana suhu kota lebih panas dibandingkan daerah sekitarnya—sudah sangat terasa. Jakarta, misalnya, tercatat memiliki suhu 2–4°C lebih tinggi dibandingkan daerah pinggirannya. Hal ini diperparah oleh berkurangnya pohon dan ruang terbuka hijau.
Udara Kotor, Risiko Penyakit Meningkat
Selain menjadi pendingin alami, pohon juga berfungsi sebagai penyaring udara. Daunnya menyerap karbon dioksida (CO₂) dan berbagai zat polutan seperti nitrogen dioksida dan ozon. Sebatang pohon dewasa mampu menyerap sekitar 150 kilogram CO₂ setiap tahunnya—angka yang cukup besar jika kita membayangkan ribuan pohon tersebar di seluruh kota.
Tanpa keberadaan pohon sebagai “paru-paru kota”, polusi udara akan meningkat tajam. Udara kotor akan terperangkap di antara bangunan-bangunan tinggi yang rapat tanpa ventilasi alami. Hal ini berisiko besar terhadap kesehatan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan penderita penyakit pernapasan. Kasus asma, bronkitis, dan gangguan pernapasan lainnya diprediksi akan meningkat secara signifikan.
Dampak Psikologis: Kota Gersang, Jiwa Pun Lelah
Tak hanya tubuh yang terpengaruh, ketiadaan pohon juga berdampak pada kondisi mental masyarakat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberadaan alam di sekitar kita, bahkan dalam bentuk sederhana seperti taman kecil atau jalur hijau, memiliki efek menenangkan dan menurunkan tingkat stres.
Pemandangan pepohonan hijau, suara burung, atau semilir angin yang menyusup lewat dedaunan ternyata membantu menurunkan tekanan darah, mengurangi kecemasan, bahkan mempercepat pemulihan dari depresi. Sebaliknya, tinggal di lingkungan yang sepenuhnya terbuat dari beton tanpa ruang hijau dapat memicu perasaan terisolasi, stres kronis, dan kelelahan mental. Beberapa studi memperkirakan bahwa tingkat depresi dan kecemasan dapat meningkat hingga 30% di kota yang minim vegetasi.
Bencana Hidrologis dan Beban Infrastruktur
Salah satu peran penting pohon yang kerap dilupakan adalah kemampuannya dalam mengatur aliran air. Akar pohon menyerap dan menahan air hujan, membantu mencegah banjir dan mengurangi limpasan air yang berlebih ke saluran drainase. Jika pohon-pohon ini menghilang, maka seluruh sistem hidrologi kota bisa terganggu.
Banjir bandang berisiko terjadi lebih sering, terlebih saat curah hujan tinggi dan sistem saluran air kota tidak mampu menampung luapan air. Pemerintah mungkin akan terpaksa menggelontorkan dana besar untuk membangun infrastruktur drainase baru, namun hal tersebut tidak akan bisa menandingi efisiensi sistem alami yang disediakan oleh vegetasi. Maka, hilangnya pohon bukan hanya kerugian ekologis, tetapi juga kerugian finansial yang besar.
Dampak Ekonomi: Menurunnya Daya Saing Kota
Keberadaan pohon dan ruang hijau juga memiliki nilai ekonomi yang nyata. Sebuah kawasan yang hijau cenderung memiliki nilai properti lebih tinggi dibandingkan kawasan yang gersang. Berdasarkan studi di berbagai negara, nilai properti di dekat taman atau jalur hijau bisa meningkat antara 5–15%. Kawasan yang sejuk dan nyaman juga lebih menarik bagi wisatawan dan investor.
Sebaliknya, kota tanpa pohon akan kehilangan daya tariknya. Wisatawan mungkin enggan berkunjung karena cuaca yang panas dan suasana yang tidak ramah. Investor pun dapat memilih lokasi lain yang dianggap lebih sehat dan nyaman untuk mendirikan usaha. Dalam jangka panjang, hal ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi lokal dan meningkatkan ketimpangan antar wilayah.
Distopia yang Semakin Nyata
Membayangkan kota tanpa pohon mungkin terdengar seperti adegan dari film fiksi ilmiah bertema distopia—lingkungan yang tandus, langit yang kelabu, manusia memakai masker karena udara beracun. Namun, jika tidak ada langkah serius dalam menjaga dan memperluas ruang hijau, skenario tersebut bukan tidak mungkin terjadi.
Setiap pohon yang ditebang, setiap taman yang digantikan oleh bangunan, adalah langkah kecil menuju kota yang gersang, panas, dan tidak ramah untuk ditinggali. Ancaman ini nyata, dan dampaknya sudah mulai terlihat. Hanya saja, banyak dari kita yang masih menganggap keberadaan pohon sebagai pelengkap estetika semata, bukan kebutuhan mendasar.
Masih Ada Harapan: Saatnya Bertindak Bersama
Kabar baiknya, belum terlambat untuk bertindak. Kita masih bisa menyelamatkan kota dari kehancuran ekologis. Upaya menjaga dan mengembalikan ruang hijau bisa dimulai dari berbagai level, mulai dari kebijakan pemerintah hingga tindakan individu.
Pemerintah daerah dapat membuat regulasi yang mengharuskan setiap proyek pembangunan menyisakan ruang terbuka hijau atau menanam kembali pohon yang ditebang. Sekolah dan komunitas warga bisa mengadakan kegiatan penghijauan atau kampanye cinta lingkungan. Sementara di level pribadi, kita bisa mulai dari hal kecil—menanam pohon di halaman rumah, tidak membuang sampah sembarangan, hingga mendukung produk dan bisnis yang ramah lingkungan.
Penutup
Kota tanpa pohon bukan sekadar bayangan kelam, pemandangan kota tanpa pohon memang seperti adegan film distopia fiksi ilmiah. Namun sayangnya, ini bukan sekadar imajinasi, tetapi ancaman nyata jika kita terus mengabaikan alam. Setiap pohon yang ditebang, setiap ruang hijau yang beralih fungsi, adalah langkah kecil menuju kota yang gersang dan tak ramah.
Pohon bukan hanya pelengkap lanskap, tetapi elemen vital bagi kesehatan, kenyamanan, dan keberlanjutan kota. Tanpa mereka, suhu meningkat, udara tercemar, banjir meluas, dan kesehatan mental masyarakat terganggu. Namun, harapan masih ada. Dengan kesadaran bersama—baik dari pemerintah, komunitas, maupun individu—kita bisa mengembalikan keseimbangan antara pembangunan dan alam. Mari jaga pohon-pohon kota, karena di sanalah masa depan urban yang sehat dan manusiawi bermula.***


Komentar Terbaru