PMK 81/2025: Surat Cinta dari Menkeu Purbaya untuk Membuat Ribuan Desa Bangkrut
Di tengah janji-janji pemerintah Prabowo Subianto untuk membangun ekonomi dari bawah, justru muncul kebijakan yang terasa seperti pukulan telak bagi desa-desa di Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025, yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada 19 November 2025, merevisi PMK 108/2024 tentang pengalokasian, penggunaan, dan penyaluran Dana Desa (DD) untuk tahun anggaran 2025. Secara singkat, aturan ini menjadikan pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih sebagai syarat mutlak untuk pencairan DD tahap II. Jika desa gagal memenuhi hingga 17 September 2025, dana tahap II—terutama bagian yang tidak ditentukan penggunaannya—bisa ditunda atau bahkan dialihkan ke prioritas pemerintah pusat, seperti “pengendalian fiskal” atau program lain yang tak jelas. Ini bukan sekadar birokrasi tambahan; ini adalah bentuk pemaksaan top-down yang mengabaikan realitas desa, berpotensi menghambat pembangunan lokal, dan menunjukkan arogansi kekuasaan yang mengorbankan rakyat kecil.
Latar Belakang Kebijakan: Dari Janji Manis ke Pemaksaan Kasar
Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP) pertama kali diluncurkan oleh Presiden Prabowo pada Juli 2025 di Klaten, Jawa Tengah, sebagai bagian dari program “Asta Cita” untuk memperkuat ekonomi pedesaan. Konsepnya mulia: koperasi ini dirancang untuk memotong rantai pasok pangan, meningkatkan kesejahteraan petani, dan memastikan akses masyarakat ke bahan pokok murah. Hingga Agustus 2025, pemerintah mengklaim telah membentuk ribuan KDMP sebagai “trisula pengentasan kemiskinan.” Namun, apa yang awalnya digambarkan sebagai inisiatif sukarela kini berubah menjadi kewajiban paksa melalui PMK 81/2025. Desa harus menyertakan akta pendirian KDMP atau bukti penyampaian dokumen ke notaris, plus surat pernyataan komitmen dukungan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), sebagai syarat pencairan DD tahap II (40% dari pagu DD yang ditentukan penggunaannya). Tanpa itu, dana ditunda, dan bagian DD non-spesifik bahkan bisa hilang selamanya, dialihkan ke kas negara untuk “prioritas pemerintah” atau menjadi sisa di Rekening Kas Umum Negara (RKUN) tanpa dikembalikan.
Ini adalah langkah mundur dari semangat otonomi desa yang dijamin Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Pemerintah pusat, melalui Menteri Purbaya, seolah mengatakan: “Ikuti agenda kami, atau kehilangan dana yang seharusnya milikmu.” Kritikus menilai ini sebagai pergeseran dari pengaturan teknis ke pengaturan kelembagaan yang menggerus kedaulatan desa, mirip dengan bagaimana pendahulu seperti Sri Mulyani pernah “menghapus” otoritas pemda.
Kritik Utama: Beban Administratif yang Tak Masuk Akal dan Risiko Kemiskinan yang Meningkat
Pertama, kebijakan ini memaksakan pembentukan KDMP tanpa mempertimbangkan kesiapan desa. Banyak desa, terutama di daerah tertinggal seperti Papua atau NTT, masih bergulat dengan masalah dasar seperti infrastruktur buruk, akses listrik terbatas, dan sumber daya manusia minim. Membentuk koperasi memerlukan proses notaris, modal awal, dan manajemen yang rumit—semua itu memakan waktu dan biaya. Hasilnya? Desa kecil berisiko gagal memenuhi deadline 17 September 2025, sehingga DD tahap II tertahan. Padahal, DD adalah tulang punggung pembangunan desa: untuk jalan, irigasi, kesehatan, dan BLT Desa. Penundaan ini bisa berarti kelaparan bagi ribuan keluarga miskin, terutama di tengah inflasi pangan yang masih tinggi pasca-pandemi.
Kedua, aturan ini berpotensi menjadi alat pengalihan dana secara sepihak. Pasal 29B PMK 81/2025 secara eksplisit menyatakan bahwa DD tahap II yang tak disalurkan bisa digunakan untuk “mendukung prioritas pemerintah atau pengendalian fiskal.” Apa artinya? Dana desa yang seharusnya untuk rakyat pedesaan bisa dialihkan ke proyek-proyek pusat, mungkin IKN atau program prestige lain, tanpa akuntabilitas jelas. Ini bukan hanya tidak adil; ini pencurian hak desa yang disamarkan sebagai “kebijakan nasional.” Komisi VI DPR bahkan sudah mengkritik tajam, menyebutnya sebagai pemaksaan yang mengganggu fiskal desa dan berpotensi memicu aksi massa dari kepala desa.
Ketiga, kurangnya konsultasi dan transparansi membuat kebijakan ini terasa seperti diktatoris. PMK ini diundangkan hanya seminggu setelah ditandatangani, tanpa dialog luas dengan asosiasi desa atau DPRD. Asosiasi Kepala Desa sudah mengancam demo, menyebut aturan ini “tiba-tiba dan tidak berpihak pada masyarakat luas.” Di platform X (sebelumnya Twitter), warganet ramai membahas bagaimana ini memperketat tata kelola DD demi agenda KDMP, dengan beberapa post menyoroti bahwa kebijakan ini bisa menghambat penyaluran hak-hak desa. Mengapa desa harus mendanai koperasi yang mungkin tak mereka butuhkan? Apakah ini benar-benar untuk kesejahteraan, atau sekadar alat politik untuk memobilisasi dukungan di tingkat akar rumput?
Dampak Jangka Panjang: Dari Otonomi ke Ketergantungan
Jika dibiarkan, PMK 81/2025 bisa menciptakan preseden berbahaya: desa tak lagi mandiri, tapi tergantung pada agenda pusat. KDMP mungkin bagus di atas kertas, tapi pemaksaannya melalui ancaman pemotongan dana justru bisa gagal total—seperti banyak program koperasi sebelumnya yang mati suri karena kurang partisipasi. Data historis menunjukkan bahwa koperasi desa sering gagal karena korupsi lokal atau ketidakcocokan dengan budaya masyarakat. Alih-alih mengentaskan kemiskinan, ini bisa memperburuk ketimpangan: desa kaya di Jawa mungkin mudah memenuhi syarat, sementara desa miskin di pinggiran terpinggirkan.
Seruan untuk Perlawanan: Revisi atau Cabut PMK Ini!
PMK 81/2025 bukan kebijakan pro-rakyat; ini adalah manifestasi dari pemerintahan yang semakin sentralis dan mengabaikan suara desa. Kepada Presiden Prabowo dan Menteri Purbaya: Cabut atau revisi aturan ini segera! Libatkan desa dalam dialog, bukan paksaan. Kepada masyarakat: Dukung aksi kepala desa, pantau alokasi dana, dan tuntut transparansi. Jika tidak, desa-desa kita akan semakin terbelenggu, dan janji “merah putih” hanya jadi slogan kosong yang mengorbankan yang lemah. ***


Komentar Terbaru