Otonomi Desa Direbut Pusat, Mengapa Desa Membisu?
Mohammad Hatta pernah berujar, “Indonesia tidak besar karena obor di Jakarta, tapi akan bercahaya karena lilin-lilin di desa.” Ujaran ini telah lama membesarkan hati, menjadi simbol bahwa kekuatan sejati bangsa terletak pada kemandirian dan vitalitas komunitas terkecilnya. Namun, kini lilin-lilin itu tengah dipadamkan oleh Menteri Keuangan.
Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025, seratus persen alokasi dana desa kini ditempatkan di bawah kendali pemerintah pusat. Kebijakan ini secara efektif mengakhiri wewenang desa untuk membelanjakan dana sesuai dengan musyawarah dan kebutuhan lokal mereka. Otonomi yang menjadi jantung Undang-Undang Desa telah direnggut.
Namun, di tengah pencabutan hak fundamental ini, muncul sebuah pertanyaan besar yang membingungkan: Mengapa para kepala desa, perangkat desa, dan warganya tidak bersuara lantang menentang pencabutan otonomi mereka?
Apa yang Dipertaruhkan: Lebih dari Sekadar Dana, Sebuah Kemunduran ke Masa Lalu
Kebijakan sentralisasi ini memicu tiga masalah fundamental yang mengancam eksistensi desa sebagai entitas otonom:
- Punahnya asas rekognisi (pengakuan) dan subsidiaritas (kewenangan), yang merupakan inti dari Undang-Undang Desa yang menjamin hak desa untuk mengatur dirinya sendiri.
- Kembalinya hubungan negara-desa ke model sentralisasi instruksional ala Orde Baru, yang menggantikan semangat otonomi dengan model komando terpusat dari atas ke bawah.
- Musnahnya modal material desa untuk mengatasi masalah lokal secara mandiri, sehingga desa kehilangan kemampuannya untuk merespons kebutuhan warganya secara cepat dan tepat.
Hilangnya modal material ini bukanlah perkara sepele. Dalam satu dekade terakhir, desa telah mengalami transformasi ekonomi yang luar biasa. Total Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) di seluruh Indonesia meroket dari Rp 24 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp 128 triliun pada tahun 2024. Angka ini menunjukkan betapa masifnya skala ekonomi yang kini ditarik kembali ke pusat, sekaligus besarnya potensi pembangunan yang terancam.
Dampak finansialnya pun nyata dan langsung dirasakan. Sejak pertengahan September 2025, terjadi “pencaplokan” sisa dana desa tahap kedua sebesar 40 persen dari setiap desa. Akibatnya, desa kini berada dalam posisi di mana mereka diwajibkan untuk menyubsidi negara.
Naga Leviathan negara ini tidak akan memangsa semua anaknya secara merata. Desa-desa di luar Jawa jauh lebih rentan. Dana desa mencakup hingga 72% dari total APBDes di Papua, bandingkan dengan 47% di Jawa. Ketergantungan ini diperparah oleh minimnya sumber pendapatan lain; Pendapatan Asli Desa (PADes) di Jawa dapat mencapai 6% dari anggaran, sementara di sebagian besar wilayah luar Jawa angkanya kurang dari 1%. Analisis ini mengarah pada satu kesimpulan suram: pembangunan desa di Papua akan menjadi yang pertama ditelan bulat-bulat, diikuti oleh Nusa Tenggara, Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Kalimantan.
Sebuah metafora kuat menggambarkan betapa parahnya tindakan negara ini:
Tiwikrama negara menjadi naga ekonomi Leviathan telah memangsa anaknya sendiri.
Dibungkam Stigma: Jerat Etis Korupsi Dana Desa
Salah satu alasan utama kebisuan ini adalah fenomena yang digambarkan sebagai “secara etis kikuk”. Rasa kikuk ini muncul dari wacana publik mengenai korupsi dana desa yang telah dibesar-besarkan melebihi realitasnya. Stigma korupsi ini menjadi mekanisme pembungkaman yang sangat efektif.
Jika para perangkat desa memprotes kebijakan sentralisasi ini, mereka khawatir akan langsung dicap hanya ingin melindungi peluang mereka untuk korupsi. Tuduhan semacam itu akan memperkuat citra negatif yang sudah dominan di mata publik, sekaligus mendelegitimasi perjuangan mereka. Jebakan etis ini berfungsi sebagai penghalang moral yang mencegah mereka memperjuangkan hak-hak yang dijamin oleh Undang-Undang Desa.
Krisis Senyap: Dampak Ekonomi yang Belum Terasa Penuh
Dugaan kedua mengapa protes keras belum terdengar adalah karena konsekuensi ekonomi dari kebijakan ini belum sepenuhnya “mengkristal” di lapangan. Meskipun kebijakan ini telah secara efektif menghilangkan modal material desa, dampak ekonomi yang menyakitkan mungkin belum dirasakan secara mendalam atau meluas oleh seluruh lapisan masyarakat. Krisis ini datang perlahan, tidak serentak.
Namun, dampaknya sudah mulai terlihat. Sebagai contoh konkret, 274 desa di Kabupaten Purworejo ditolak pencairan dana tahap akhirnya, yang menyebabkan mereka gagal membiayai kegiatan penting di semester kedua. Kegiatan-kegiatan krusial yang terhenti meliputi:
- Insentif guru TK/PAUD
- Insentif guru mengaji
- Pendanaan internet desa
Kesimpulan: Siapa yang Akan Membela Desa?
Desa kini terjebak di antara dua pilihan sulit: dilema etis yang membungkam suara mereka dan krisis ekonomi yang merayap pelan namun pasti. Tekanan stigma korupsi dan dampak kebijakan yang belum terasa merata menciptakan kebisuan yang berbahaya.
Meskipun menghadapi rintangan ini, perjuangan untuk mempertahankan asas rekognisi dan subsidiaritas desa harus tetap diperjuangkan oleh warga desa sendiri, dengan dukungan dari para pegiat desa.
Jika desa—yang merupakan ‘lilin-lilin’ bangsa—dibungkam, lantas siapa yang akan berjuang untuk menjaga cahayanya tetap menyala?***


Komentar Terbaru