Permasalahan Pelayanan di Desa
Pembangunan antar desa di Indonesia belum merata. Terbukti masih adanya desa dalam status desa tertinggal, desa yang sedang berkembang, sampai dengan desa mandiri. Gradasi klasifikasi desa tersebut sangat terlihat. Beberapa hal yang mendasarinya adalah karena masih adanya beberapa isu strategis dalam pembangunan desa. Isu strategis tersebut berkontribusi besar terhadap permasalahan pelayanan di desa diantaranya:
- Masih tingginya keterisolasian daerah perdesaan;
- Keterbatasan ketersediaan pelayanan umum dan pelayanan dasar minimum di perdesaan;
- Masih rendahnya ketersediaan infrastruktur pendukung produktivitas perdesaan;
- Kemiskinan, pengangguran, dan kerentanan ekonomi masyarakat desa;
- Berkurangnya lahan usaha untuk kemandirian desa;
- Kerentanan sumber daya alam dan lingkungan hidup perdesaan;
- Belum optimalnya peran kelembagaan desa dalam perencanaan dan pembangunan desa;
- IPD mengklasifikasikan jumlah desa tertinggal sebanyak 19.944 desa (26,92 %), desa berkembang sebanyak 51.127 desa (69 %), dan desa mandiri sebanyak 3.022 desa (4,08 %).
Isu strategis dimaksud tentunya juga berkontribusi terhadap permasalahan pelayanan di desa, terutama pelayanan publik kepada masyarakat desa, apalagi dengan cairnya dana desa yang jumlahnya besar. Beberapa permasalahan pelayanan publik yang dihadapi oleh pemerintahan desa antara lain:
- Sebagian besar bahkan hampir seluruh pelayanan publik di desa berupa pemberian rekomendasi (pengantar) yang proses penyelesaiannya berada pada tingkat kecamatan dan dinas terkait. Tidak ada pelayanan publik yang selesai di desa, sifatnya hanya sebagai pengantar. Misalnya pengantar pembuatan KTP, KK, ijin usaha, surat keterangan kelahiran, dan lain-lain.
- Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap persyaratan administratif dalam pengurusan kegiatan tertentu, misalnya dalam pembuatan KTP. Padahal persyaratan tersebut sudah terinformasikan di Ketua RT masing-masing atau bahkan terpasang di Balai Desa. Terkadang juga masyarakat enggan untuk mengurus sendiri karena birokrasi yang panjang dan bertele-tele, sehingga memakan waktu yang lama.
- Masih banyaknya administrasi desa yang bersifat manual, belum di-back up dengan teknologi informasi. Beberapa tempat masih mengandalkan administrasi menggunakan buku atau tulisan di papan sehingga belum terdokumentasikan dengan baik.
- Sulitnya mengakomodir seluruh keinginan masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat dengan anggaran yang besar, maka memunculkan banyaknya tarik ulur dalam penentuan program, sehingga akan ada keinginan masyarakat yang tidak terakomodir.
- Keterbatasan sarana dan prasarana desa. Keterbatasan ini yang memunculkan minimnya sarana prasarana pelayanan publik yang ditujukan untuk masyarakat desa.
- Rendahnya kapasitas SDM kepala desa dan perangkat desa. Kompetensi kepala desa menjadi ujung tombak maju atau mundurnya sebuah desa. Permasalahan di sini adalah masih jarangnya kepala desa yang kompeten. Sebagai informasi awal, gambaran mengenai kualitas SDM aparatur desa dari sisi tingkat pendidikan dapat diklasifikasikan pada gambar di bawah:
Data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tersebut di atas memberikan informasi bahwa dari sisi tingkat pendidikan, ada sebanyak 829 kepala desa/lurah yang tidak pernah sekolah. Ini menjadi fakta yang tidak bisa terelakkan. Kemungkinan besar kepala desa/lurah yang bersangkutan bisa memimpin tetapi dari sisi kecakapan dalam administratif lain, kemampuan menghasilkan ide-ide tentu akan berbeda dengan kepala desa yang berpendidikan minimal SMP atau sederajat sebagaimana diamanatkan dalam Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.
Menjadi pekerjaan rumah bersama untuk Membangun Indonesia dari Pinggiran bahwa penguatan kapasitas dan kelembagaan di tingkat desa dalam peningkatan kualitas pelayanan publik di desa. Tugas pendamping desa dalam pemanfaatan dana desa utamanya bagi pelayanan desa juga dipentingkan agar pelayanan di tingkat desa menjadi lebih optimal. ***
Komentar Terbaru