Seni dan Komunikasi Video (Bagian 1)
Komunikasi adalah suatu domain yang unik. Ketika seseorang perlu mempelajari komunikasi secara ilmiah untuk menjadi seorang komunikator, analis, atau perencana komunikasi yang handal, pada saat yang sama dia harus pula menguasai atau setidaknya memahami seni berkomunikasi.
Blend antara pengetahuan, keterampilan, dan seni dalam bidang komunikasi ini menjadi penting ketika kita masuk dalam proses produksi media komunikasi, khususnya video. Oleh karenanya, untuk menjamin produksi media video mampu menyampaikan pesan yang dibawanya, maka paling tidak kita harus memahami dua elemen dasar dalam komunikasi video, yaitu bahasa audiovisual dan karakteristik khalayaknya.
A. BAHASA AUDIOVISUAL
Realitas yang dihadirkan televisi adalah realitas video. Biasanya ketika menonton televisi, kita sering beranggapan bahwa kita sedang melihat suatu peristiwa nyata yang direkam dengan videotape dan kemudian ditayangkan televisi.
Sesungguhnya bukan itu yang terjadi. Layar televisi hanyalah celah yang kita pergunakan untuk melihat dunia yang sama sekali berbeda, dunia dimana dalil-dalil tentang ruang, waktu, dan gravitasi tidak dapat diberlakukan. Sehingga dalam video kita bisa melihat manusia terbang, orang bepergian dengan pesawat dan dalam waktu sangat singkat telah sampai ke negara lain, orang tidak terluka ketika jatuh dari menara, dan sebagainya. Umumnya ponton awam tidak terlalu mercermati keanehan perilaku dunia video, sehingga penulis naskah video, sutradara, atau editor megerti bagaimana menggunakan dalil-dalil dunia video untuk mengelabui penontonnya.
Pemahaman terhadap bahasa audiovisual sesungguhnya merupakan kecakapan yang telah dimiliki oleh semua orang. Walaupun kita bukan orang yang terlibat dalam pembuatan video, namun sehari-hari kita menghabiskan cukup banyak waktu untuk mengkonsumsinya (khususnya melalui televisi). Stinson (2002: 13) mengemukakan bahwa video adalah sistem yang paling persuasif dan powerful yang pernah ditemukan untuk menyampaikan fakta, gagasan, dan opini.
Video telah mempengaruhi kita ketika berhasil mempersuasi apa yang harus kita beli, ketika mampu menjelaskan dan membuat kita memahami apa yang dianggap penting dan kenapa kita perlu menganggapnya begitu. Video menunjukkan apa yang trendy, apa yang atraktif, dan apa yang seharusnya kita inginkan dalam hidup. Video juga memberi contoh bagaimana mengekspresikan cinta, bagaimana berkelahi, bagaimana bekerja, beribadah, dan bahkan bermimpi.
Video melakukan semua itu dengan jernih dan jelas sehingga mampu membuat kita merasa seolah-olah mengalami sendiri pemandangan dan suara dari suatu realitas. Kepada kita dihadirkan suatu imitasi realitas yang diciptakan dengan kecermatan dan kerumitan tinggi, untuk dapat kita terima dan sepakati. Pembuat video menyajikan “realitas” bahwa sabun X lebih baik dari sabun O, mereka juga dapat “membuktikan” bahwa capres A lebih hebat dari capres B. Mereka bisa “menunjukkan” bahwa eksistensi harimau penting untuk ekosistem (atau pada saat yang sama, mereka juga bisa menunjukkan bahwa harimau adalah pemakan ternak petani sehingga harus dilenyapkan).
Bahkan ketika pembuat video tidak sedang menawarkan suatu produk kepada kita, mereka juga tidak menampilkan realitas obyektif kepada kita, mereka menyajikan realitas versi mereka kepada kita. Hal ini tidak dapat dihindari, karena program tidak dapat dibuat tanpa melalui proses memilih dan memadatkan realitas. Sehingga perspektif atau cara pandang tertentu akan selalu muncul dalam setiap program video, karena seleksi dan penyajian program video selalu merefleksikan norma dan nilai yang diyakini oleh pembuatnya.
Sebagai penonton televisi setidaknya kita harus berurusan dengan hal semacam ini secara terus menerus. Kita dapat menjadi pemirsa televisi yang bijak jika kita memiliki pengetahuan tentang teknik komunikasi video, dan kita dapat memilah informasi yang kita lihat dari cara-cara bagaimana informasi tersebut diorganisir dan disajikan. Setidaknya kita tidak akan dikelabui oleh medium yang selalu tampak nyata namun tidak pernah nyata.
Komunikasi video mengunakan bahasa visual, bahasa yang memiliki kaidah layaknya tata bahasa tulis yang kita kenal. Misalnya image dapat diibaratkan sebagai suatu kata, sebuah shot seperti suatu kalimat lengkap, sebuah adegan (scene) adalah sebuah alinea, dan suatu sekuen seperti sebuah bab. Namun, tidak seperti bahasa tulis, bahasa visual Inggris dan bahasa visual Indonesia (dan bagi hampir semua bangsa di dunia) adalah sama. Halini menempatkan video sebagai kekuatan sosial yang penting karena hampir semua orang di dunia ini memahami bahasa universal film dan video.
Pada tingkat elementer, video memiliki tata bahasa yang setara dengan subyek, kata kerja, predikat, atau aturan waktu. Sementara pada tataran yang lebih tinggi, video memiliki semacam susasteranya sendiri, yaitu sejumlah teknik untuk menciptakan cara berekspresi yang spesifik. Teknik semacam ini mencakup komposisi dan gerak kamera, kontinuitas gambar, dan pengendalian ritme program video. Maka, seperti ketika kita bisa membedakan gaya sastrawan tertentu ketika menuliskan novelnya, kitapun dapat melakukan hal yang sama pada karya film dan video.
Komunikasi untuk membangun makna terhadap suatu konten film diperoleh melalui kombinasi dari penggunaan perangkat teknik untuk memproduksi gambar bergerak dan menyelaraskannya dengan suara dan nilai-nilai kultural, atau norma dan konvensi yang berkaitan dengan aksi, peristiwa, dan adegan yang ada dalam film tersebut.
Kini, dengan munculnya berbagai format media baru, para pembuat film mulai memikirkan pengaruh dari teknologi digital terhadap berubahnya cara-cara orang memahami produksi dan penggunaan gambar atau images dalam berbagai bentuk media seperti film-film Hollywood dan foto jurnalistik (Dewdney & Ride, 2006: 37). Bahasa audiovisual pada media baru dipengaruhi oleh tingginya tingkat hibriditas akibat proses konvergensi. Dewdney dan Ride (2006: 40) menyebutkan ada 3 proses yang menentukan bahasa audiovisual baru sebagai akibat dari konvergensi media, yaitu overlapping practices, memudarnya batas-batas konseptual mengenai potensi makna, dan munculnya berbagai hybrid practices yang baru.
Overlapping practices atau aktivitas yang saling tumpang tindih dalam produksi media audiovisual terjadi misalnya ketika pengolahan data digital dengan komputer menjadi bagian penting dalam pembuatan film. Proses pasca produksi sebuah film misalnya menggunakan komputer untuk menghasilkan spesial efek (SFX) terhadap material yang dihasilkan melalui pengambilan dengan kamera film konvensional.
Atau program piranti lunak CGI (computer generated image) yang menyatukan material yang diperoleh dari kamera film konvensional dengan material animasi yang diproduksi oleh komputer. Berbagai praktik gabungan ini menghasilkan sensasi baru pada media audiovisual yang kemudian juga berarti bahasa audiovisual baru yang harus dipahami, baik oleh produsen dan konsumennya.
Memudarnya batas-batas konseptual mengenai potensi makna terutama terjadi karena berubahnya pola-pola distribusi film. Kini film tidak dapat secara tegas dipisahkan dari platform media lainnya.
Penerapan siaran televisi digital dan pesatnya kepemilikan ‘home cinema‘ atau ‘home theater‘ misalnya, telah meneguhkan suatu pengalaman kultural baru yang memperluas potensi pemaknaan media audiovisual dari bahasa audiovisual untuk mengkonsumsinya. Perkembangan teknologi baru dalam sinyal broadband, yang segera akan melengkapi konvergensi komputer dan televisi (juga film sebagai kontennya) akan menciptakan platform baru home entertainment (Dewdney & Ride, 2006: 42).
Dalam situasi ini akan tumbuh ritual baru konsumsi media audiovisual (misalnya dengan sistem berlangganan, sistem pay-as-you-go, film/video-on-demand). Kultur dan ritual konsumsi media audiovisual yang berubah ini telah menuntut bahasa audiovisual yang berbeda pula untuk memahaminya, sehingga pada gilirannya juga membuka batas-batas bagi potensi makna dari produk media audiovisual.
Hybrid practices terjadi ketika orang menggunakan media audiovisual secara interaktif sebagai konsekuensi dari konvergensi media. Kondisi ini jauh berbeda dibanding ketika film diputar di bioskop misalnya. Dalam bioskop ini penonton dikondisikan secara fisiologis dan psikologis untuk menerima informasi dari bahasa audiovisual yang searah.
Sebaliknya dalam penggunaan media secara interaktif, orang mengendalikan apa yang hendak dikonsumsi melalui fasilitas navigasi yang disediakan (komputer, televisi, internet). Dalam kasus seperti ini tentunya diperlukan bahasa audiovisual yang berbeda lagi untuk menarik dan mengikat perhatian orang, karena kendali dalam proses pemahaman tidak lagi ada pada media seperti ketika dipertontonkan di dalam gedung bioskop.
[SKOM4440-M1-KB2]
Selanjutnya Seni dan Komunikasi Video (Bagian 2)
Komentar Terbaru